“Rif…, kamu sudah tidur, nak?” suara seseorang dibalik pintu kamarku yang ternyata itu adalah seorang wanita yang melahirkanku. Ya, dialah ibu. Aku mendekati pintu dan membukanya untuk ibu.
“Aku tidak bisa tidur, bu..!! setiap mataku terpejam, aku selalu terbangun kembali.” jawabku lirih.
“Ya sudah kalau begitu. Ibu kira kamu nggak suka dengan kamar barumu ini.” Ibukupun langsung meninggalkanku setelah memberikanku ucapan selamat malam. Aku kembali menutp pintu dan merobohkan diriku diatas kasur tempat tidurku. Pelan namun pasti, mataku sedikit tertutup dan akhirnya aku menjelajahi mimpi pertamaku di kamar baru.
Dalam dunia mimpiku, aku tampak akrab dengan seseorang yang kuanggap dia sebagai sahabatku. Namun, aku tak tahu siapa dia. Wajahnya terihat begitu cerah bak mentari. 2 bola matanya menyorotkan kedamaian, senyum manisnya menggambarkan kesetiaan hakiki. Aku merasa tak salah memilihnya menjadi sahabatku. Hatinya tulus, sikapnya yang ramah dan santun, kebaikannya membuatku luluh, luntur. Tapi, aku tak mengenalnya. Wajahnya masih terlihat baru dalam kehidupanku. Siapa dia? Aku tak tahu.
Pagi hari, saat matahari kembali menari di ufuk timur, aku beranjak dari tempat tidurku menuju kamar mandi milikku. Aku membersihkan diriku dari apapun yang mengganggu pikiranku. Aku tak memperdulikannya walau bayangan itu masih bertempat tinggal dalam bayang anganku. Setelah membersihkan diri, aku keluar dari kamar memenuhi panggilan perut.
“Rif, sepertinya kamu terlihat bingung. Ada apa?” tanya ibuku ketika aku sampai di ruang makan.
“Apa kamu nggak suka dengan rumah baru kita?” tanya ayahku melanjutkan pertanyaan ibuku.
“Nggak kok, Yah! Masalahnya, semalam aku mimpi aneh. Aku tampak akrab dengan seseorang yang seolah-olah aku sudah lama mengenalnya. Tapi, aku tak tahu siapa dia.”jawabku tegas.
“Oh…mungkin itu hanya bunga tidur kamu saja! Mungkin juga wajah baru itu adalah rumah kita ini dan lama-lama kamu akan semakin suka dengan rumah.” terang ayah mentafsirkan mimpiku.
Mungkin kata ayah benar, wajah baru itu adalah rumah ini dan mungkin beberpa lama lagi aku mulai menyukai rumah baruku ini.
“Oh..ya! Ngomong-ngomong ntar aku sekolah di mana, Yah?” aku mengalihkan bahan pembicaraan.
“Kamu tenang saja! Masalah sekolah, biar ayah yang nanti akan mengurusnya. Ok! Ntar kamu juga akan tahu sendiri.”
Setelah makan pagi, ayah mengantarku ke sebuah sekolah yang tak asing lagi bagiku. Lebih tepatnya bukan sekolah, tapi pondok pesantren. Langitan, ya….! pondok pesantren yang sejak dulu pernah aku harap-harapkan untuk menimba ilmu disana, akhirnya sekarang tercapai juga.
Oh..ya, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Arif Amrullah El-Khoir, aku baru pindahan dari kota Pahlawan dan kini aku tinggal di Tuban yang kata-katanya adalah kota para wali. Ayah dan ibuku memang memanjakan aku, maklumlah, aku adalah anak pertama dan terakhir mereka. Jika aku meminta sesuatu, pasti mereka akan mengabulkannya sekalipun mereka tak mampu. Namun, aku tak mau melihat kedua orang tuaku mondar-mandir mencari apa yang aku inginkan. Jikalau aku meminta pada mereka, aku melihat-lihat dulu posisi mereka saat itu, apakah mampu ataukah sebaliknya. Pernah, dulu waktu aku lulus SD di Surabaya, aku ingin meminta pada mereka kalau aku mau mondok di Langitan, namun aku urungkan. Waktu itu ayahku lagi bangkrut entah kenapa. Akhirnya mereka membawaku ke SMAN 1 Surabaya untuk bersekolah. Aku tak merasa menyesal sedikitpun walau keinginanku tak terpenuhi. Aku bersyukur karena aku masih bisa bersekolah. Bayangkan, jika aku tak bersekolah waktu itu, mungkin sekarang aku tak akan bisa masuk pesantren Langitan.
“Assalamu’alaikum…!” ucap ayahku tegas ketika berada di depan kantor pusat pesantren.
“Wa’alaikum salam…! Apa ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya petugas kantor.
“Begini, mas, ini anak saya mau mondok disini, katanya dia pengen mondok, ya saya tak bisa menolak orang yang mau mencari ilmu agama, saya bawa saja ke sini.” terang ayahku. Lalu, petugas itu menyuruh kami untuk registrasi ke Mudir ‘Am pesantren. Akhirnya aku masuk ke kelas 5 yang sederajat dengan 2 SMA atau Aliyah. Seketika itu juga ayahku langsung pulang, tak mngkin beliau terus menungguiku di pesantren. Ketika aku berjalan di halaman pesantren menuju kamarku, semua mata tertuju padaku. Seakan akulah orang ter-aneh diantara mereka. Padahal, aku merasa yak ada yang salah denganku. Penampilanku juga cukup sopan, bersarung dan berkopyah walau memakai kaos lengan pendek. Mungkin itulah yang membuat mereka mengherankan. Dengan penuh percaya diri, aku terus melangkah menuju kamarku. Begitu sampai di kamar, aku langsung disambut dengan keramahan. Tak satupun yang memusuhi atau bahkan membenciku. Biasanya, kalau saja aku baru masuk sekolah umum, perkataan-perkataan jelek langsung menyambutku. Tak ada yang menghargai diriku, mungkin cuma beberapa saja yang ramah denganku.
”Ahlan wa sahlan ya akh! Min aina ji’ta?” ucap salah seorang dari mereka.
Aku tampak agak bingung. Bahasa apa yang mereka gunakan? Apa ini yang dimaksud dengan bahasa Arab? Aku tak mau terlihat bingung dihadapan mereka, aku menjawab sapaan mereka dengan bahasa Inggris yang pernah aku pelajari di sekolah waktu dulu.
”Sorry, what do you speak? I don’t know!” ucapku dengan bahasa murahan.
”O…just now I speak by Arabic.” jawabnya kemudian.
”What is the meaning of it?” tanyaku lagi.
”Welcome my brother, where are you come from?”
“Oh…I come from Tuban, and you?”
Begitulah aku memperkenalkan diriku pada mereka. Kita saling memperkenalkan diri dan berbagi pengalaman, tepat waktu ini juga mereka sedang libur sekolah. Jadi, aku masih bisa bersekolah esok hari. Andi, salah satu teman baruku, ia menceritakan bahwa dirinya pernah menjadi seorang play boy di kelasnya waktu SMP dulu. Bahkan, ia pernah mendapat tamparan maut dari seorang cewek. Kitapun tertawa mendengar cerita Andi. Katanya, itu adalah pertama kalinya ia diperlakukan seperti itu dan sampai kini ia masih mengingatnya. Tak terasa bahwa Adzan dhuhur telah berkumandang dari seluruh penjuru. Tiba-tiba, pintu kamar tergedor begitu keras seakan membuat jantungku mau lepas dari tempatnya.
“Hei….Shollu..shollu….!!!” suaranya begitu keras dan tajam.
Semua yang ada dalam kamar langsung beranjak dari tempatnya dan bersiap untuk sholat Jama’ah. Akupun mengikuti apa yang mereka lakukan.
Usai sholat Jama’ah, aku menanyakan sesuatu pada mereka mengenai pengurus tadi. “Eh…yang tadi mendobrak pintu itu siapa? Seenaknya saja! Emang kita dianggap apa?” tanyaku
”La taqul kadzalik, jangan bicara seperti itu! Tadi itu pengurus, dia memang keras dan kejam. Sedikit saja kesalahan, bisa fatal akibatnya!” kata Andi.
“Shohih, benar sekali! Semua santri takut padanya, wajahnya seperti malaikat penjaga Neraka. Sungguh mengerikan.” seloroh Umar. Aku mengangguk-anggukkan kepala. Dalam batinku berkata ‘ternyata ada juga orang seperti dia di pesantren ini’.
* * *
Waktu telah berjalan teramat cepat. 2 bulan sudah aku menimba ilmu pengetahuan di pesantren Langitan. Akupun sudah sedikit mengerti dan memahami bahasa Al-Qur’an walau aku terkadang sering lupa mengucapkannya. Saat itu, aku sedang belajar bersama teman-temanku. Tiba-tiba, dari suara mikrofon terdengar namaku dipanggil ke kantor. Aku pergi memenhi panggilan itu. Ketika berada di kantor, petugas memberitahuku dan mengisyaratkan aku untuk segera pulang. Aku bertanya kenapa? Petugas itu tak bisa menjawab. Dalam wajahnya terlihat guratan kesedihan. Aku kembali ke kamar dan membereskan barang-barnag keperluanku. Dalam benakku masih bertanya kenapa? Kenapa aku mendadak disuruh pulang? Sebenarnya apa yang terjadi? Tak ada yang bisa menjawabnya kecuali diriku sendiri. Ya, akulah yang akan menjawabnya. Mungkin saja ibu dan ayah sedang membuat surprise besar untukku sehingga aku disuruh segera pulang. Sesampai di rumah, bukanlah jawaban yang aku dapati, melainkan ribuan pertanyaan menghampiri.
“Apa surprise itu teramat besar sehingga banyak orang yang diundang?” pikirku.
Aku melihat banyak sekali tetangga dan kerabat terdekatku. Aku menghampiri salah seorang tetanggaku. Dia adalah Ustad terkenal di sana.
“Pak, di rumah saya ada apa, ya? kok rame sekali?”
Beliau tak bisa menjawab pertanyaanku. Dua anak sungai mengalir dikedua pipi beliau.
“Sabarlah, nak! Allah pasti menyukai orang-orang yang sabar. Semua ini pasti terdapat hikmah tersendiri dari-Nya!”
“Memangnya ada apa, Pak Ustad?”
“Masuklah ke dalam rumah, dan lihatlah sendiri apa yang terjadi.”
Aku menuruti apa kata Pak Ustad, aku memasuki rumah dan betapa kagetnya diriku ketika memasuki kamar ayahku yang terkerubung banyak orang. Aku melihat pria tua yang mana itu adalah ayahku, terbujur kaku dan tanpa sedikitpun bergerak. Tubuhnya pucat bak seorang mayat. Disamping ayahku, ibuku menangis tersedu-sedu. Begitu melihahku, ia langsung memelukku. Hatiku serasa pecah berkeping-keping melihat semua kenyataan didepan mataku. Aku mengira ini seolah mimpi. Tapi bukan. Mataku berkunang-kunang, aku tak sanggup lagi membendung air mataku. Pipiku basah dihujani air mata. Aku tak menyangka, ayahku yang dulunya begitu perkasa, kuat, ceria dan lincah, kini harus meninggalkan aku untuk selama-lamanya. Berjuta cinta dan kasih bersamanya satu persatu satu persatu mampir dalam memoriku. Aku menggoyang-goyangkan jasad ayah, berharap untuk segera bangkit dari ranjangnya. Tapi tak mungkin. Itu semua kehendak Tuhan, Tuhanlah yang menentukan. Apakah bangkit ataukah masih terlentang. Aku sungguh tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Banyak kenangan manis bersamanya. Air mataku kembali mengalir semakin deras membasahi kedua pipiku. Akupun tersadar, mungkin ini sudah waktunya, waktu dimana ayahku harus menghadap kepada-Nya. Kini yang harus kulakukan hanyalah berdo’a, mengharap beliau diterima di surga-Nya.
* * *
Satu Minggu ketika kematian ayah, teman-temanku berziarah datang ke rumahku. Mereka memang teman-teman terbaikku. Salah satu dari mereka berkata dan berusaha menghiburku.
“Rif, sabar ya..! Dulu waktu kami kesusahan, kamu selalu menghibur kami dengan nyanyianmu ‘hadapi dengan senyuman’. Ingat…, Rif! Hadapi semua ini dengan senyuman dan semua yang telah terjadi biarlah berlalu, hadapi dengan tenang, aku yakin semua akan baik-baik saja.” ucap Umar. Tiba-tiba, Andi menyanyikan lagu itu, tapi pada pertengahan lagu, ia lupa dengan lirik berikutnya. Kita semua tertawa, begitupun denganku walau aku paksakan. Sebenarnya, kedatangan mereka membuatku semakin teringat dengan ayah. Namun, aku tak mau memperlihatkan kesedihanku dihadapan mereka, aku tak mau melihat mereka murung. Aku juga merasa salut pada mereka. Mereka rela menyita waktunya demi mengunjungi temannya yang ditimpa musibah. Tak lama, merekapun harus kembali ke pesantren untuk tugas mereka masing-masing. Sementara itu, ibuku masih terbaring lemas di kamar, aku berusaha menghibur. Tapi, sisa-sia. Aku selalu menemaninya setiap saat.
“Bu, sebaiknya ibu istirahat saja, jangan mikirin yang bukan-bukan, nanti kesehatan ibu jadi berkurang.” ucapku lirih.
“Nak, sekarang ibu sudah sehat kok! Kamu nggak usah khawatir lagi, mungkin nanti ibu akan pergi.” kata ibuku sambil memelukku dengan linangan air mata.
“Jaga dirimu baik-baik ya, nak! Tetap bersemangat dalam mencari ilmu, jangan pernah putus asa! Satu lagi, jangan tinggalkan shalat! Ingat baik-baik itu, nak! Sekarang, ibu mau istirahat.” katanya panjang lebar. Aku semakin tak mengerti dengan apa yang dimaksudkan ibu. Apa maksudnya akan pergi jauh? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Pukul 12 tepat, aku menemui ibuku yang sejak tadi pagi tertidur pulas. Wajahnya pucat, pipinya masih basah oleh air mata. Aku mencoba membangunkannya. Tak berhasil. Aku mncobanya berkali-kali, ternyata…beliau telah menghadap Illahi Robbi yang Maha Mengetahui.
* * *
2 minggu kepergian ayahku, aku kembali ke pesantren dengan kesedihan hati. Jam empat, tiba di kamar, aku sendirian, semua masih belajar, tentang ilmu keimanan. Aku berkaca dihadapan cermin, memandang mukaku yang kusut. Aku mencoba untuk tersenyum, sebisa mungkin untuk tersenyum. Walau masih tersisa kesedihan yang begitu mendalam pada memoriku. Aku tak pernah merasakan sebegitu sedih seperti saat ini. Bayangkan, seminggu kepergian ayahku, ibuku langsung menyusul.
Oh..Tuhan
Maafkan hambam ini
Yang berlumuran dosa-dosa
Berlumur kemaksiatan dan kenistaan
Maafkan aku, Tuhan….
Aku keluar dari kamar menuju Musholla pesantren. Aku terdiam meratap nasibku, merenungi dosa-dosaku. Tiba-tiba, suara asing tertuju padaku.
“Kok sendirian? Nggak ikut ngaji sama teman-temanmu?” katanya menepuk pundakku lalu duduk disampingku. Aku hanya terdiam, pandanganku masih tetap lurus. Air mataku kembali tumpah.
“Kedua orang tuaku…….” kataku terputus
“Kenapa dengan mereka?” tanyanya kembali
“Mereka baru saja…..baru saja meninggalkanku untuk selamanya…!!!”
“Maafkan aku, aku telah berkata lancang padamu…..”
Akhirnya, ia menceritakan banyak hal tentang dirinya. Ia juga memperkenalkan dirinya, namanya adalah Abdul Aziz Khoiri, ia adalah kakak kelasku, kelas 6. Ia membuatku sedikit terhibur. Dengan tak sengaja, aku melihat ke arahnya. Aku tersentak kaget ketika melihat wajahnya, sepertinya aku pernah melihat wajah itu, tapi dimana?
“Sepertinya aku pernah melihatmu…, tapi kapan dan dimana, ya?”
“Tentu saja kamu pernah melihatku, sekarang dan disini!”
“Nggak…, sebelumnya aku juga pernah melihatmu, sebelum aku masuk pesantren ini!” kataku sambil menelusuri memoriku otakku yang dulu. Akhirnya aku menemukannya, aku pernah melihatnya dalam mimpiku waktu pertama kali aku pindahan dan mimpi itulah yang ditafsirkan oleh ayahku bahwasanya aku akan semakin betah tinggal di rumah baruku. Tapi, itu salah. Ternyata itu adalah sosok teman baruku ketika aku ditinggal kedua orang tuak, dan dia menemaniku saat aku sedang sedih. Aku telah menemukan ciri-cirinya persis dalam mimpiku.
* * *
Jam terus berjalan menjelajahi lorong waktu. Aku dan Aziz menjadi seperti saudara. Aku menganggapnya kakakku dan ia menganggapku sebagai adik walaupun tubuhnya lebih sedikit rendah dariku. Hatinya begitu bersih
Jam terus berjalan menjelajahi lorong waktu. Aku dan Aziz menjadi seperti saudara. Aku menganggapnya kakakku dan ia menganggapku sebagai adik, walaupun poster tubuhnya lebih rendah dari pada aku. Hatinya begitu bersih nan suci dan sehalus sutra. Ketika aku sakit, ia yang mengurusiku dan membelikanku makan dan minuman serta mengantarkanku ke klinik pesantren untuk berobat. Walaupun teman sekamarku begitu perhatian, namun ialah yang paling perhatian denganku. Setiap aku terkena masalah, ia selalu menyertaiku dan membantu menyelesaikan masalahku. Begitupun jika ia terkena masalah, aku siap membantunya sebisaku. Dimanapun kita selalu bersama bagaikan saudara. Suatu ketika, ia pulang ke rumahnya entah kenapa. Aku merasa kesepian tanpa dirinya. Dia selalu setia setiap saat aku membutuhkan. Malam itu ketika kembali ke pesantren, ia bermaksud mengambil buku perizinannya. Namun, pengurus kejam bernama Romdlon itu menghukumnya dengan pukulan-pukulan yang terus mengenai kakinya. Ditambah lagi rambutnya yang semula indah, dipotong habis. Aku merasa tak tega melihatnya. Ia terjatuh setelah menerima pukulan itu. Kakinya memar, bekas pukulan masih ada. Padahal, kesalahannya hanya terlambat datang satu hari, itupun dengan alasan yang memuaskan. Tapi, pengurus itu tak pandang bulu. Siapa salah, maka dia wajib mendapat hukuman. Begitulah pedomannya sebagai seorang pengurus. Memang benar apa kata Andi, sedikit saja kesalahan, maka bisa berakibat fatal. Aku mendekatinya dan berusaha membantunya untuk berdiri.
“Ziz, ma’afkan aku, aku tak bisa berbuat apa-apa saat kamu dihukum tadi.!”
“Sudahlah, dia memang seperti itu. Ini juga aku yang salah, kenapa juga aku terlambat. Huh…kejadian yang berlalu memang sangat mudah disesali.” ucapnya sambil tersenyum. Sungguh, aku tak percaya, dalam keadaan seperti ini ia masih bisa tersenyum? Hatinya memang sangat tulus dan sabar menerima hal apapun yang menghampirinya. Kebahagiaan, kesenangan atau bahkan kesedihan dan kesengsaraan, ia hadapi dengan senyuman. Benar-benar orang yang jarang aku temui.
“Rif, ternyata kamu baik juga…ya!”
“Hah….aku..?? Ah…tak sebaik hatimu, Ziz! Kamu selalu sabar dan ikhlas dalam menghadapi apapun. Kamu hebat, Ziz! You are kind, anta akhi wa shohibi, you are my best friend, Ziz!” ucapku dengan mencampur adukkan bahasa.
* * *
Suatu waktu, Aziz dikirim oleh Romo Kyai untuk melanjutkan studinya di Cairo. Dimana kota yang terkenal dengan suhu panas dan gurun pasirnya yang luas. Disitulah, Aziz akan meneruskan pembelajarannya. Dia telah mendapatkan Beasiswa untuk pergi ke Mesir karena ia telah hafal 10 Juz dari Kitab Suci Al-Qur’an. Ma’had Al-Azhar, dia akan pergi ke sana.
“Ziz, kalau kamu nanti sampai di sana, jangan pernah lupakan aku, ya!”
“Tenanglah, Rif! Aku tak akan begitu saja melupakanmu, teman terbaikku, La urid kadzalik!”
Akhirnya iapun pergi. Aku kembali sendiri, sepi dan tak ada yang menemani. Banyak halangan yang menanti, tak ada yang membantu untuk memberesi.
Sebulan telah berjalan, akhirnya datanglah surat pertama dari sahabatku, Aziz.
To : Akhi Arif Amrullah el-Khoir
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan datangnya surat ini, aku ingin sekali menyampaikan seuntai kata untukmu. Rif, semenjak aku berada di sini, aku sangat merindukanmu, kebaikanmu dalam bertutur kata, dan semua ketulusan hatimu. Selama ini aku hanya bisa berdo’a agar engkau mendapat perlindungan dari Allah SWT dan tetap dijaga dari keburukan.
Wahai Orang yang bijaksana,
Sungguh, sebenarnya aku ingin sekali bertemu denganmu, namun keterbatasan waktu yang membuat kita tak dapat saling bertatap muka, dan itu semua sangat tidak mungkin, aku di sini masih 2 bulan sedangkan batas studiku adalah 7 tahun. Tapi, walau begitu aku tak akan pernah melupakan kebaikanmu.
Wahai Orang yang bijaksana,
Bagaimana kabarmu? Apa engkau baik-baik saja, jangan pernah lupa, belajarlah dengan giat dan berdo’a agar engkau selalu mendapat karunia dan hidayah dari-Nya. Sekian dulu surat dariku ini, semoga dengan surat ini engkau bisa untuk mengingatku dan tak akan pernah melupakan aku. Jika ada sumur di ladang, bolehlah kita menumpang mandi, jika ada umur panjang bolehlah kita berjumpa lagi. Jazakumullah Ahsanal Jaza.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Abd. Aziz Khoiri
Kedua mataku kembali mengeluarkan sumber air. Tumpah membasahi pipiku, aku tak kuasa menahannya. Aku duduk termangu dan kembali mengingat-ingat semua kebaikan Aziz. Kemudian, aku tertidur dan memimpikan sesuatu. Aku bermimpi meneminya dan bermain bersamanya. Aku sangat gembira dengannya, lalu aku kembali terbangun, kulihat sebuah surat dari Aziz yang tadi baru aku baca.
Ramadhan telah datang, kini saatnya untuk pulang, sendirian tanpa seorang teman. Di rumah, aku kembali teringat dengan ayah dan ibu. Waktu mereka masih ada, merekalah yang mempersiapkan makanan untuk berbuka. Sahur seadanya. Indah. Dua anak sungai mengalir kembali dengan tiba-tiba. Aku tak kuasa menahan kesedihanku. Perutku yang terus meronta, kepala yang seakan mau pecah. Tiba-tiba, suasana menjadi gelap. Semua hanyut dalam kegelapan. Tubuhku terjatuh, tersungkur diatas tanah. Aku tak sadarkan diri. Lalu, aku bermimpi bertemu ayah dan ibu. Mereka melambaikan tangan dan memanggil namaku seakan menyuruhku untuk ikut dengan mereka. Aku mendekatinya, mereka mengajakku ke tempat yang paling indah, mungkin itulah Surga. Aku merasa nyaman disisi mereka. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Semua kembali menjadi gelap. Aku memanggil-manggil mereka.
“Ayah…ibu….., jangan tinggalkan aku!! Aku ingin ikut dengan kalian….aku mau bersama kalian..!!! Kenapa kalian tega meninggalkan aku sendiri?? Kenapa, kenapa??”
Kemudian, aku terbangun. Sesosok wajah yang telah aku kenal, tepat berada dihadapanku.
“Aziz….!!??” ucapku lemah.
“Alhamdulillah, ternyata kamu sudah sadar!”
“Apa yang terjadi denganku? Dan kenapa kamu disini?” tanyaku dengan nada heran.
“Setelah aku disini, aku melihatmu tergeletak didepan rumahmu, lalu aku membawamu ke kamar ini, sejak tadi kamu terus memanggil-manggil orang tuamu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar